Siapa yang tidak kenal Paman Mada ? Semua anak di kampungku mengenalnya. Sebenarnya namanya bukan Paman Mada. Tidak ada yang tahu nama aslinya. Ayahku pun tidak tahu, padahal Ayah teman Paman Mada sejak kecil. Ia dijuluki Paman Mada karena model rambut dan bentuk wajahnya mirip dengan Gajah Mada,Mahapatih Majapahit, seperti yang tergambar dalam buku sejarah.
Paman Mada sangat pendiam.Wajahnya sangar. Kulitnya hitam. Rambutnya panjang, sering digulung ke atas. Tidak ada anak-anak di kampungku yang berani menyapanya. Orang-orang dewasa pun jarang disapa oleh Paman Mada. Tidak ada yang tahu mengapa Paman Mada seperti itu. Misterius.
Paman Mada memiliki sebidang kebun yang sangat luas. Kebun itu ditanami dengan aneka macam buah-buahan. Kami menyebutnya “Heaven of fruits “ alias surga buah-buahan. Bagi aku dan teman –temanku kebun buah Paman Mada adalah tempat yang paling ingin kami kunjungi . Sayang, kami hanya bisa melihat. Kami tak dapat menikmatinya. Padahal buah-buahan di kebun Paman Mada menggiurkan . Semua terlihat ranum dan menyegarkan. Tapi, siapa yang berani menginjak kebun milik orang paling ditakuti di kampungku? Membayangkan saja sudah cukup mengerikan bagi kami.
Siang ini ketika pulang sekola ,Aku, Wibi dan Ganis melewati kebun Paman Mada. Saat itu kami melihat buah mangga yang ranum bergelantungan.
“Kita ambil yuk!“ ajak Ganis.
“Nggak ah, aku takut! “ sahutku . ”Selama ini belum ada yang berani mengambil buah dari kebun ini. Bahkan, tidak ada yang berani masuk ke dalamnya.”
“Ah, dasar kamu. Badan doang yang gede, tapi nyalinya kuecil“ sahut si Wibi.
Mendengar ucapan Wibi , aku panas juga. Akhirnya aku menyetujui ajakan mereka.
Dengan hati –hati, kami memanjat tembok yang memagari kebun. Ketika sampai di atas, kami menemukan pemandangan yang mencengangkan. Betapa tidak! Di dalam kebun, kami tidak hanya menemukan buah –buahan yang membuat air liur mengalir, tetapi kami juga melihat berbagai macam mainan anak-anak.
Seperti arena bermain ! Ada ayunan, jungkat –jungkit dan perosotan. Di sisi utara kami melihat sebuah kolam ikan kecil, di tengah-tengahnya ada bunga teratai. Selain itu kami juga melihat rumah pohon, taman bunga dan patung –patung binatang. Wow!
“Wah, bagus sekali ya?“ kataku.
“Ya. Tapi buat apa Paman Mada membuat ini semua?“
“Dia ‘kan tidak punya anak. Jangan-jangan …..”
“Apa ?”
“Dia menculik anak-anak untuk tinggal bersamanya. Hiiiii …”
Ketika kami asyik mengamati, tiba –tiba muncul seseorang yang paling kami takuti.
Dengan segera kami turun dari tempat itu dan mengambil langkah seribu. Namun, kami sepakat untuk menyelinap masuk ke dalam kebun nanti malam. Di sana kami akan melakukan penyelidikan.
Sesuai kesepakatan, malam itu kami mendatangi kebun Paman Mada.
Malam itu bulan hanya terlihat sebagian. Langit agak mendung,sehingga suasana di sekitar kebun terlihat lebih seram. Pohon –pohon tampak hanya berupa bayangan hitam. Bergoyang –goyang tertiup angin. Mengingatkanku pada cerita tentang hantu-hantu dalam film horror. Apalagi di kejauhan terdengar suara binatang malam. Hiiii ……..syereeeem. Dengan pelan –pelan kami memanjat tembok. Setelah merasa aman kami turun dan masuk ke kebun. Kakiku terasa berat. Keringat bercucuran. Jantungku berdegup kencang. Berbagai macam perasaan bercampur aduk.
“Ssst, hati –hati,“ bisik Ganis.
“Ya, jangan sampai ketahuan“ sahutku.
“Kalau ketahuan bisa-bisa ….“ kata si Wibi sambil berjalan mengendap-endap. Tiba-tiba …..
“Ahhhhhh !!!!“ kami berteriak ketakutan.
Tanpa kami sadari di depan kami berdiri sesosok bayangan hitam.
Paman Mada!!! Dengan segera dia mencengkeram kami bertiga dan membawa kami masuk ke dalam rumahnya. Kami tidak bisa berkutik.
“Mengapa kalian masuk ke kebun malam –malam?“ tanya Paman Mada dengan nada tegas.
“Eh, kami ….kami …..“ sahut kami ketakutan, keringat dingin bercucuran. Kami hanya menunduk dan tidak berani menatap wajahnya.
“Eh, kami ….kami …..“ sahut kami ketakutan, keringat dingin bercucuran. Kami hanya menunduk dan tidak berani menatap wajahnya.
“Apa yang ingin kalian ketahui?” tanyanya lagi sambil menatap tajam ke arah kami. Pada saat itulah aku melihat wajah Paman sejelas-jelasnya. Matanya bulat dan tajam. Kulitnya sawo matang. Di pipi sebelah kanan terdapat bekas luka gores. Suaranya tegas dan berwibawa.
“Kami ingin tahu mengapa Paman membuat arena bermain di kebun Paman?“ tanyaku memberanikan diri.
“Kami juga ingin merasakan buah-buahan dari kebun Paman“ sahut si Wibi. Dasar si tukang makan!!!
Setelah mendengar penjelasan kami, tanpa berbicara apapun Paman Mada segera masuk ke dalam ruangan. Pertanyaan kami tidak dijawabnya. Kami semakin takut. Jangan –jangan dia marah besar dan menyekap kami. Di tengah kebingungan kami, Paman Mada keluar dari dalam ruangan sambil membawa tas plastik hitam.
“Tentang alasanku membuat taman bermain, kalian tidak perlu tahu. Itu menjadi rahasia pribadiku. Sekarang pulanglah.“ kata Paman dengan agak marah.
“Besok lagi, mintalah ijin bila masuk ke rumah orang. Berlakulah sopan!”
“Maaf, Paman.“ kami menjawab dengan malu-malu.
Tanpa berkata-kata lagi Paman Mada menyerahkan tas plastik hitam kepadaku dan menyuruh kami keluar melalui pintu gerbang rumahnya. Sesampai di luar, kami segera berebut membuka tas hitam tadi. Oh, My God, lima buah mangga harum manis yang menggiurkan! Bingung, kan kenapa Paman sebaik itu?
Sikap misterius Paman Mada tetap membuat kami penasaran. Kami ingin menyelidikinya. Oleh karena itu Minggu siang kami berkumpul di rumahku untuk menyusun rencana berikutnya. Ketika kami sedang asyik menyusun rencana di teras depan, datang ayahku dari rapat RT.
“Bagaimana hasil rapatnya, Pa? Apakah di lingkungan kita jadi didirikan TK gratis untuk anak-anak yang tidak mampu?“ tanya Mama yang keluar dari ruang tamu.
“Jadi dong, bahkan lengkap dengan taman bermain. Siapapun boleh bermain di situ.“
“Wah, asyik Pa. Kalau bermain tidak perlu jauh –jauh.“ sahutku.
“Iya. Anak –anak balita pun bisa bersekolah gratis,” sahut si Ganis.
“Siapa sih Pa, orang yang berbaik hati menyumbangkan kekayaannya untuk anak-anak di lingkungan kita?“ tanya Mama.
“Iya, Pa. Kami juga ingin tahu.“ ucap aku, Ganis, dan Wibui serempak.
“Coba tebak!” kata Papa sok misterius.
Kami menyebut beberapa nama. Tapi papa terus menggeleng. Setelah menyerah akhirnya papa menyebut sebuah nama yang membuat kami ternganga. Paman Mada!! Kami tak percaya.
“Bagaimana mungkin?“ tanya kami serempak.
Kemudian ayahku menjelaskan bahwa sebenarnya Paman Mada itu tidak jahat. Sifatnya yang pendiam dan misterius itu dikarenakan kesedihan yang mendalam. Paman Mada memendam kesedihan bertahun tahun karena kehilangan anak dan istrinya akibat bencana alam tanah longsor ketika tinggal di Luar Jawa. Kesedihannya bertambah bila melihat anak-anak seusia anaknya.
“Paman Mada tidak ingin berlarut –larut dalam kesedihan. Ia ingin melupakan kejadian yang menyedihkan itu. Dia ingin mengenang anaknya dengan mendirikan TK dan taman bermain.“
Kami terdiam. Kami merasa malu sudah menduga-duga hal yang tidak benar. Kami juga merasakan kesedihan Paman Mada.
“O iya. Tadi Paman Mada kirim salam buat kalian. “kata ayah sambil mengedipkan mata.
Wah, pasti Paman Mada sudah bercerita tentang penyusupan kami. Gawat!
“Kalian di tunggu di rumahnya“ tambah ayah.
Tanpa menunggu banyak waktu kami segera berlari ke rumah Paman Mada. Di sana Paman Mada pasti menunggu dengan senyuman, karena kami masuk rumahnya tidak melalui tembok lagi. Dan kami siap menjadi “anak-anaknya.”
Jangan sedih lagi, Paman Mada!
Marmini Estiningsih [mar_minik @yahoo.com]
http://ceritaanak.org/index.php/cerita-anak-orisinil/250-jangan-sedih-lagi-paman-mada?showall=1&limitstart=