Translate

Senin, 20 Agustus 2012

Monyet Makan Manggis


Dari segi fisik, ia adalah pemuda yang kekar. Badannya sehat dan kokoh. Namun sayang, penampilannya nampak semrawut. Hidupnya tak memiliki arah yang jelas. Kerjanya hanya nongkrong dan nongkrong. Menghabiskan waktu dengan percuma di gardu pojok desa dengan teman-temannya. Bahkan, tidak jarang, ia hanya bengong di sana seorang diri. Ia merasa hidupnya tak berguna lagi setelah beberapa usaha yang ia rintis akhirnya kandas di tengah jalan. Pernah juga, ia bekerja pada orang lain tapi akhirnya keluar juga. Tidak betah karena merasa selalu diperintah.
Pagi hari ketika semua orang bangun dan segera berangkat ke tempat kerja masing-masing, pemuda tersebut biasanya masih terlelap tidur, dan baru akan terbangun ketika hari sudah siang. Dan dengan langkah lunglai serta tatapan kosong, ia akan ke gardu tersebut. Begitulah hari-hari yang ia lalui. Mengalir tanpa makna dan manfaat sedikit pun.
Suatu hari, pemuda tersebut diajak berburu ke hutan oleh pamannya. “Daripada tak ada yang kamu kerjakan, mending ikut paman berburu kijang di hutan,” ajak Sang Paman. “Bagaimana, mau?”

Dia tak langsung menyahut tapi malah mengeluh, “yah, kok ke hutan sih paman, apanya sih yang menarik di sana?”



“Khan, sudah paman bilang tadi,” jawab Sang Paman. “Kita hanya mau berburu. Titik! Kalau kamu tidak mau, ya sudah, paman berangkat sendiri.”
“Tapi masa aku ikut dengan tangan hampa begini?”
“Ya sudah, cepat sana, ambil senapan satunya lagi!”
Akhirnya, berangkatlah mereka berdua ke hutan. Tapi baru setengah perjalanan, si Pemuda mengeluh, “Aduh paman, kita beristirahat dulu ya? Capek nih!”
Sang Paman hanya bisa memandangi keponakannya dengan geleng-geleng kepala. “Parah benar anak ini,” bisiknya dalam hati. “Bagimana sudah hilang capeknya? Yuk, kita berjalan lagi!”
Baru beberapa langkah kaki tiba-tiba, “Ssssst…!” bisik Sang Paman pada pemuda tersebut sambil menempelkan jari telunjuknya di depan mulutnya, “Tenang…tenang….!”
“Ada apa paman?” tanya pemuda itu dengan berbisik pula.
“Kamu lihat di sana! Dibalik semak-semak itu.”
“Semak yang mana paman? Yang mana?



“Itu…tu…yang di sebelah kiri pohon besar itu! Kamu lihat?”
“Ya, paman,” jawabnya.
“Ada apa?”
“Seekor kijang.”
“Betul sekali!” ujar Sang Paman. “Sekarang kamu arahkan senapanmu dan tembaklah kijang itu! Kamu siap?” kata pamannya dengan suara yang nyaris tak terdengar karena terlalu lirih. Takut kalau-kalau kijang itu mendengarnya dan lari.
“Siap paman!”
Pemuda itu mulai membidikkan ujung senapannya ke arah kijang di balik semak itu ketika tiba-tiba, “Ciiit….ciiit…ciiiit….,” tepat di atas kepalanya. Pada sebuah dahan pohon manggis, dua ekor monyet sedang bertarung sengit memperebutkan kepemilikan atas pohon itu. Monyet yang lebih besar itu pun menang dan berhasil mengusir monyet satunya.
Suara berisik dua ekor monyet itu telah membuat kijang buruannya berlari. Hilanglah kini kesempatan emas untuk mendapatkannya. “Sialan!” umpatnya, “Dasar monyet!”



Karena kesal, pemuda itu memutuskan untuk menembak monyet yang tengah asyik bergelayutan kesana-kemari di dahan pohon manggis untuk memilih-milih buahnya. Namun, ada hal ganjil menurutnya, ketika dia perhatikan bahwa monyet tersebut selalu membuang buah manggis yang dia petik setelah baru digigitnya sedikit.
“Satu…dua….tiga….,” pemuda itu menghitung buah yang dilempar monyet itu, “Empat…lima…enam…..”
“Hai…ayo kita kejar kijang itu. Paling, dia tidak jauh dari sini!” ajak pamannya. Tapi, pemuda itu tetap di tempatnya. Memperhatikan ulah si monyet. Dia pun tak jadi menembak monyet tersebut. Akhirnya, dia ditinggalkan oleh pamannya. “Aku akan mengejar kijang itu! Kamu tunggu saja di sini,” kata pamannya.
Ulah monyet tersebut telah membuatnya terheran-heran. Dalam perjalanan pulang dengan pamannya, si pemuda memberanikan diri bertanya tentang apa yang dilihatnya, “Paman, kenapa monyet itu selalu membuang buah manggis manis yang dia petik. Padahal, baru digigitnya sebentar. Dan sebiji pun buah manisnya belum dia rasakan?”



Si paman tersenyum mendengar pertanyaan keponakannya. “Itulah mengapa orang bijak mengatakan: Jadi manusia jangan seperti monyet makan manggis,” jelas pamannya. “Itu adalah gambaran bagi seseorang yang mudah bosan dan menyerah ketika bertemu sedikit halangan dan cobaan pada sesuatu hal yang dia geluti. Padahal, sebenarnya, di balik itu semua terdapat kesuksesan yang menjanjikan. Manusia dengan karakter seperti itu, tidak akan pernah mengetahui kebaikan yang terkandung dalam setiap persoalan hidup. Persis seperti si monyet yang membuang manggis yang baru sedikit digigitnya. Karena kulit manggis pahit, dia segera membuang buah manggis itu. Padahal, di dalamnya ada buah yang manis rasanya.”
Sepanjang perjalanan pulang itu, Si pemuda hanya diam. Dia menyerap nasihat pamannya dengan penuh perhatian. Dia merasa nasihat pamannya memang benar. “Aku tidak ingin menjadi seperti monyet itu!” tekadnya dalam hati. “Aku harus bangkit dari keterpurukan ini untuk menyongsong kesuksesan hidup.”


Bilif Abduh
Sleman, 24 Juli 2011
Caxwiet @yahoo. co.id

Pesan Untuk Pengunjung

Jangan lupa sholat, beramal sholeh, dan zakat - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Ilmu tidak bisa di dapat dengan badan yang santai

Asal Negara Pengunjung