Ranu duduk termenung di teras rumahnya. Ia tampak sedih dan tak bersemangat. Ayah yang baru pulang kantor pun diacuhkannya. Ibu heran melihat sikap Ranu yang tidak seceria biasanya dan bertanya,
“Kok diam saja, sakit ya? Biasanya kamu selalu ribut minta oleh-oleh setiap ayah pulang dari kantor.”
“Ranu ndak sakit, Bu.”
“Lalu kenapa nak?” tanya ayah sambil duduk di samping Ranu.
“Ranu ingin kembali ke Yogya saja,” jawab Ranu.
“Lho kenapa?” tanya ibu heran.
“Di sini Ranu ndak punya teman. Mau main di halaman rumah juga ndak bisa. Main di luar juga ndak ada lapangan” jawab Ranu dengan wajah muram.
Keluarga Ranu baru satu bulan tinggal di Jakarta. Sebelumnya, mereka tinggal di Yogyakarta. Keluarga Ranu pindah ke Jakarta karena Ayah Ranu pindah tugas ke kantor pusat di Jakarta.
“Hm … mungkin oleh-oleh ayah kali ini bisa membuatmu gembira.” Ayah mengeluarkan sebuah bola basket dari dalam tas kresek hitam.
“Ayah lihat ada lapangan basket di ujung perumahan kita. Kamu bisa bermain-main di sana. Memang lapangan basket itu tidak seluas lapangan bola di samping rumah kita dulu. Namun, setidaknya kamu bisa punya tempat bermain” jelas ayah.
“Tapi Ranu ndak punya teman. Mana enak bermain sendirian.” jawab Ranu kesal.
“Sudah, coba saja main di lapangan basket di sana,” kata ayah menghibur Ranu yang makin cemberut.
Keesokan harinya, Ranu mencoba main di lapangan basket di ujung perumahan. Letaknya hanya berselisih lima rumah dari rumah Ranu.
Sesampainya di sana, Ranu melihat lapangan basket itu tampak sepi. Padahal lapangan basket itu bersih. Garis-garis di lapangan masih tampak jelas, belum pudar. Tanda tidak pernah ada kaki yang menapaki lapangan itu. Ring basketnya juga masih utuh dengan tiang bercat merah terang.
“Heran, lapangan sebagus ini kok tidak pernah dipakai,” gumam Ranu sambil men-driblebola basket keliling lapangan. Setelah puas bermain, Ranu pulang ke rumah.
“Sudah dapat teman, Nu?” tanya ibu menyambut Ranu.
Ranu menggeleng. “Ndak ada.
“Baru satu hari nak. Sabar ya. Sudah sana kamu mandi dulu,”
Ranu pun mandi. Menghilangkan keringat dan kekesalannya hari ini.
Keesokan harinya, sore hari, Ranu kembali main basket. Namun, masih sama seperti kemarin, tak ada seorang anak pun turut bermain. Demikian terus sampai tibalah hari Sabtu.
Ranu kembali menenteng bola basketnya ke lapangan basket. Karena sekolah libur, ia bisa main basket sepanjang hari. Di sana ia mulai men-drible keliling lapangan lalu melakukan shoot ke arah ring basket yang sudah reyot. Ranu men-drible lagi, shoot lagi, dribble lagi, kadang-kadang ia latihan melakukan three point.
Tengah hari, matahari bersinar terik. Ranu beristirahat sejenak dibawah satu-satunya pohon yang ada di tepi lapangan itu. Ia melamun. Ia rindu teman-temanya di Yogya dulu. Kenapa ayah harus pindah tugas di Jakarta? Andai ayah tetap di Yogya Ranu tak perlu pindah ke Jakarta dan tak perlu merasa kesepian seperti saat ini.
Dulu, Ranu dan teman-temanya selalu bermain, main apa saja, setiap sore. Selalu ada permainan baru yang mereka ciptakan dan mainkan bersama. Ranu dan teman-temannya paling suka main sepak bola di tanah lapang di dekat rumah. Dulu ….
“Hai!” sapa seorang anak kurus berkacamata. Anak itu mengulurkan tangannya tanda ingin berkenalan dengan Ranu.
Ranu menatap anak di depannya dan membalas uluran tangan anak itu. “Hai”.
“Namaku Dion. Kamu?”
“Aku Ranu. Aku baru di sini. Pindahan dari Yogya”
“O … pantas saja aku belum pernah melihatmu,” Dion duduk disamping Ranu “Kamu suka basket?”
Ranu tersenyum dan mengangguk “Iya. Dulu aku lebih senang main sepak bola, tapi di sini ndak ada lapangan bola. Ya sudah aku main basket saja.”
“Aku juga suka main basket. Kita main sama-sama yuk” ajak Dion ramah.
“Mana asyik. Kita kan, cuma berdua”
“Tenang … aku akan panggil teman-teman lain”
Belum sempat Ranu menjawab, Dion sudah berlari pergi. Sepuluh menit kemudian, Dion datang kembali bersama sepuluh anak-anak seumuran Ranu; delapan laki-laki dan dua perempuan. “Ini aku kenalkan sebagian teman-temanku di perumahan ini. Sebagian yang lain masih les”
“Les? Hari Sabtu begini?” tanya Ranu tak mengerti.
“Iya. Kami semua di sini ikut les dari Senin sampai Jumat”
“Kadang-kadang hari Sabtu dan Minggu juga!” sahut seorang anak laki-laki berambut keriting, bernama Dido. Teman-teman baru Ranu ramai berceloteh tentang aneka les yang harus mereka ikuti, les pelajaran sekolah sampai les piano atau les lukis. Teman-teman Ranu yang bersekolah jauh dari perumahan bercerita tentang kemacetan Jakarta yang membuat mereka harus berangkat lebih awal ke sekolah agar tak terlambat, akibatnya pulang sekolah mereka lelah. Tidak bertenaga lagi untuk main.
Karena asyik mengobrol dan bermain, tak terasa hari sudah sore. Mereka harus segera pulang ke rumah masing-masing. Sebelum berpisah, Ranu dan teman-temannya sepakat akan kembali bermain bersama di lapangan itu setiap hari Sabtu dan Minggu, juga saat libur sekolah.
Dengan gembira Ranu pulang. Sesampainya di rumah, Ranu langsung memeluk ayahnya erat-erat, “Ayah, terima kasih bola basketnya.”
“Kamu suka?” tanya Ayah.
“Iya ayah. Bola basket ini membawaku pada banyak teman-teman baru,” dengan penuh semangat Ranu bercerita tentang teman-teman baru yang ditemuinya tadi di lapangan basket juga janji mereka untuk kembali bertemu di lapangan basket tiap akhir pekan dan libur sekolah.
Ayah benar, si bundar ini memang ajaib!
oleh: Novianita [mnovim@ gmail.com]
http://ceritaanak.org/index.php/cerita-anak-orisinil/189-si-bundar-ajaib?showall=1&limitstart=